Jika kemarin Majalah Online mengangkat cerita tentang Kabuyutan Ciburuy, kali ini Majalah Online mencoba menyambung artikel tempo lalu, Majalah Online akan mengangkat cerita tentang ritual ritual yang di lakukan warga Kabuyutan Ciburuy … seperti apa ?? mari jelajahi Dunia Misteri Bersama Majalah Online …
Ritual Warga Kabuyutan Ciburuy
Kabuyutan Ciburuy meninggalkan tapak sejarah masa silam. Terbukti dengan adanya naskah dari lontar dan nipah, serta benda-benda kuno yang tersimpan di sana. Masyarakat
Ciburuy betul-betul mengeramatkan tempat ini. Mereka yakin adanya karomah leluhur yang menyelimuti. Tak heran bila setiap Muharam, kerap digelar ritual ada yang menyedot banyak pengunjung.Kabuyutan Ciburuy meninggalkan tapak sejarah masa silam. Terbukti dengan adanya naskah dari lontar dan nipah, serta benda-benda kuno yang tersimpan di sana. Masyarakat
Seperti dituturkan kuncen Kabuyutan Ciburuy, Nana Suryana kepada penulis, Kabuyutan Ciburuy itu merupakan tempat istirahat Prabu Siliwangi. Sebagai bukti, di kompleks ini terdapat benda-benda peninggalan raja. Antara lain benda-benda pusaka keris, kujang, golok kuno, trisula, tombak, dan lain-lain serta seperangkat gamelan atau alat kesenian yang disebut goong renteng.
Patilasan Kean Santang
Salah satu daya tarik Kabuyutan Ciburuy adalah terdapatnya patilasan Prabu Kean Santang, putra Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Bentuknya berupa lempengan batu yang luasnya kurang lebih 2 X 1 meter yang menghampar tak jauh dari bangunan utama kabuyutan atau rumah padalaman. Menurut Nana Suryana, batu hampar itu merupakan tempat Prabu Kean Santang melakukan salat, persisnya ketika mengejar ayahnya di sana.
Tokoh masyarakat Cimaung Banjaran, Kabupaten Bandung, Aki Adju, menceritakan bila Prabu Siliwangi bukan melarikan diri karena kejaran Prabu Kean Santang. Melainkan menghindari Raden Kean Santang yang ingin mengislamkannya. “Untuk menghindari bentrok fisik dengan putra kesayangannya itu, maka Prabu Siliwangi mengalah dan memilih menghindar,” ungkapnya.
Salah satu tempat menghindar tersebut adalah Kabuyutan Ciburuy. Ketika itu, Prabu Kean Santang tidak mendapati ayahnya. Lantas ia melakukan salat di atas batu hamper itu. Usai salat, terdengar suara Prabu Siliwangi tanpa wujud. Ia menyatakan bahwa sebenarnya sang ayah telah memeluk Islam. Tapi bila harus dikhinat (disunat) oleh anaknya sendiri, hal itu pamali (tabu). “Sampai sekarang Prabu Siliwangi tidak diketahui keberadaannya. Kabarnya ia menghilang di hutan Sancang, Garut Selatan,” beber Aki Adju.
Upacara Seba
Pada setiap bulan Muharam, masyarakat Ciburuy yang terletak di lereng gunung Cikuray ini rutin melaksanakan ritual adat. Hal itu sebagai tanda penghargaan kepada para leluhur, sekaligus upaya melestarikan budayanya. Ritual adat itu dinamakan upacara Seba. Yakni upacara mengeluarkan dan membersihkan benda-benda pusaka yang ada di dalam Kabuyutan Ciburuy.
Bagi masyarakat setempat, membuka dan mengeluarkan benda-benda pusaka dari tempatnya bukan pekerjaan sembarangan. Melainkan harus dilakukan pada waktu tertentu, sebegaimana selalu dipraktekkan para leluhurnya. Upacara Seba sendiri mengambil waktu hari Rabu terakhir di bulan Muharam. Atau bulan pertama pada hitungan tahun hijriah. Rangkaian upacara Seba antara lain melakukan pembersihan rumah adat, sebelum hari “H” berlangsung.
Seba adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka sebagai tanda hormat kepada leluhur. Dalam upacara ini selalu dihidangkan sajian-sajian penganan yang bahannya berasal dari ketan. Pengadaan bahan-bahan upacara berasal dari swadaya masyarakat setempat secara gotong royong.
Setiap upacara Seba dilaksanakan, masyarakat selalu antusias mengikuti. Mereka tumpah ruah mendatangi kabuyutan Ciburuy untuk mendapatkan berkah dari ritual itu. Mereka bukan saja berasal dari lingkungan setempat, tapi banyak pula yang datang dari daerah-daerah lain. Upacara Seba sendiri dimulai pukul sembilan malam, hingga tengah malam.
Saat upacara Seba berlangsung, kuncen Kabuyutan Ciburuy selalu mengeluarkan mantra-mantra. Konon, saat mengucapkan itu, sang kuncen diyakini tengah dirasuki arwah leluhur. Mantra-mantra itulah yang selalu dinantikan oleh para pengunjung, karena merupakan ramalan kehidupan di masa yang akan datang. Dengan mendengar mantra-mantra itu, dipercaya seseorang akan mendapat keberkahan.
Selain itu, ada waktu-waktu tertentu yang merupakan larangan bagi siapa saja untuk berziarah ke Kabuyutan Ciburuy. Antara lain pada hari Selasa dan Jumat. Menurut Nana Suryana, kuncen generasi ke-48, pada masa lalu, setiap hari Selasa dan Jumat merupakan hari di mana para leluhur melakukan kegiatan suci. Boleh dikata, hari itu merupakan hari tenang, sehingga tidak boleh ada keributan dan aktivitas yang mengganggu.
Semoga apa yang Majalah Online tulis bisa menambah wawasan kita tentang sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia… (ozr)
Salah satu daya tarik Kabuyutan Ciburuy adalah terdapatnya patilasan Prabu Kean Santang, putra Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Bentuknya berupa lempengan batu yang luasnya kurang lebih 2 X 1 meter yang menghampar tak jauh dari bangunan utama kabuyutan atau rumah padalaman. Menurut Nana Suryana, batu hampar itu merupakan tempat Prabu Kean Santang melakukan salat, persisnya ketika mengejar ayahnya di sana.
Tokoh masyarakat Cimaung Banjaran, Kabupaten Bandung, Aki Adju, menceritakan bila Prabu Siliwangi bukan melarikan diri karena kejaran Prabu Kean Santang. Melainkan menghindari Raden Kean Santang yang ingin mengislamkannya. “Untuk menghindari bentrok fisik dengan putra kesayangannya itu, maka Prabu Siliwangi mengalah dan memilih menghindar,” ungkapnya.
Salah satu tempat menghindar tersebut adalah Kabuyutan Ciburuy. Ketika itu, Prabu Kean Santang tidak mendapati ayahnya. Lantas ia melakukan salat di atas batu hamper itu. Usai salat, terdengar suara Prabu Siliwangi tanpa wujud. Ia menyatakan bahwa sebenarnya sang ayah telah memeluk Islam. Tapi bila harus dikhinat (disunat) oleh anaknya sendiri, hal itu pamali (tabu). “Sampai sekarang Prabu Siliwangi tidak diketahui keberadaannya. Kabarnya ia menghilang di hutan Sancang, Garut Selatan,” beber Aki Adju.
Upacara Seba
Pada setiap bulan Muharam, masyarakat Ciburuy yang terletak di lereng gunung Cikuray ini rutin melaksanakan ritual adat. Hal itu sebagai tanda penghargaan kepada para leluhur, sekaligus upaya melestarikan budayanya. Ritual adat itu dinamakan upacara Seba. Yakni upacara mengeluarkan dan membersihkan benda-benda pusaka yang ada di dalam Kabuyutan Ciburuy.
Bagi masyarakat setempat, membuka dan mengeluarkan benda-benda pusaka dari tempatnya bukan pekerjaan sembarangan. Melainkan harus dilakukan pada waktu tertentu, sebegaimana selalu dipraktekkan para leluhurnya. Upacara Seba sendiri mengambil waktu hari Rabu terakhir di bulan Muharam. Atau bulan pertama pada hitungan tahun hijriah. Rangkaian upacara Seba antara lain melakukan pembersihan rumah adat, sebelum hari “H” berlangsung.
Seba adalah upacara membersihkan benda-benda pusaka sebagai tanda hormat kepada leluhur. Dalam upacara ini selalu dihidangkan sajian-sajian penganan yang bahannya berasal dari ketan. Pengadaan bahan-bahan upacara berasal dari swadaya masyarakat setempat secara gotong royong.
Setiap upacara Seba dilaksanakan, masyarakat selalu antusias mengikuti. Mereka tumpah ruah mendatangi kabuyutan Ciburuy untuk mendapatkan berkah dari ritual itu. Mereka bukan saja berasal dari lingkungan setempat, tapi banyak pula yang datang dari daerah-daerah lain. Upacara Seba sendiri dimulai pukul sembilan malam, hingga tengah malam.
Saat upacara Seba berlangsung, kuncen Kabuyutan Ciburuy selalu mengeluarkan mantra-mantra. Konon, saat mengucapkan itu, sang kuncen diyakini tengah dirasuki arwah leluhur. Mantra-mantra itulah yang selalu dinantikan oleh para pengunjung, karena merupakan ramalan kehidupan di masa yang akan datang. Dengan mendengar mantra-mantra itu, dipercaya seseorang akan mendapat keberkahan.
Selain itu, ada waktu-waktu tertentu yang merupakan larangan bagi siapa saja untuk berziarah ke Kabuyutan Ciburuy. Antara lain pada hari Selasa dan Jumat. Menurut Nana Suryana, kuncen generasi ke-48, pada masa lalu, setiap hari Selasa dan Jumat merupakan hari di mana para leluhur melakukan kegiatan suci. Boleh dikata, hari itu merupakan hari tenang, sehingga tidak boleh ada keributan dan aktivitas yang mengganggu.
Semoga apa yang Majalah Online tulis bisa menambah wawasan kita tentang sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia… (ozr)