Peristiwa Gerbong Maut adalah salah satu cerita yang memilukan. Hampir semua Orang di Jawa Timur tahu peristiwa penting itu. Apakah sebenarnya yang terjadi pada peristiwa Gerbong Maut itu?
Pak Soehadi adalah salah satu saksi mata dari peristiwa Gerbong Maut. Dia adalah salah satu dari 100 penumpang dari Bondowoso ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Belanda berusaha memperhalus kekejamannya dengan istilah 'aksi polisionil'.
"Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga gerbong kereta api,"
Tentara Belanda sangat serampangan. Siapa saja dirazia dan ditangkap, khususnya para pemuda yang punya potensi memberontak. Pak Soehadi, waktu itu berumur kurang lebih 20 tahun dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso, ikut ditangkap. Di tengah teror mental yang luar biasa, mereka dimasukkan ke dalam tiga gerbong kereta.
"Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada penerangan, pengap sekali. Anak-anak, kalian bisa bayangkan apa yang terjadi saat itu,"
Pak Soehadi menduga, kebijakan mengurung 100 tawanan itu dilakukan untuk menghindari intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel kereta api. Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir pasti gerilyawan tak akan tinggal diam.
"Gerbongnya hanya dibuka sebentar di stasiun, terus tutup lagi,"
Pengapnya udara, akumulasi gas karbondioksida, ditambah desak-desakan yang ekstrem, bahkan untuk menghilangkan rasa haus, para tawanan itu meminum air kencing mereka sendiri, ada satu lubang sebesar lubang jarum pada salah satu gerbong, akhirnya lubang itu dipake bergantian untuk menghirup udara segar dari luar, sungguh miris sekali.... Lalu satu persatu tawanan, kawan-kawan Eyang Soehadi, meninggal di dalam gerbong. Mati lemas! Sampai di Surabaya--mula-mula di Stasiun Wonokromo, Surabaya, baru diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, Eyang Soehadi termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.
"Saya sendiri heran, kok bisa selamat. Mungkin, takdir saya belum sampai,"
Pak Soehadi dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.) Dua tahun lamanya, Eyang Soehadi mendekam di dalam penjara tanpa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan sedikit pun. Ketahuan kalau 'Aksi Polisional' I itu hanya akal-akalan Belanda untuk merampok kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 November 1949, Eyang Soehadi dan kawan-kawan dibebaskan.
"Saya masih ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949,"
NYARIS MATI LEMAS DALAM KASUS 'GERBONG MAUT' PADA 28 DESEMBER 1947, MAS SOEHADI TAK MENDAPAT APA-APA. TANDA JASA NIHIL. PENGHARGAAN SEBAGAI VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN PUN TAK. TAPI, SOEHADI MERASA BANGGA KARENA DITAKDIRKAN TUHAN MENJADI SALAH SATU PELAKU SEJARAH DI REPUBLIK INI.
"NAK, umur kami-kami ini sudah sedikit. Sebentar lagi juga habis. Mau minta apa lagi?"
Pak Soehadi adalah salah satu saksi mata dari peristiwa Gerbong Maut. Dia adalah salah satu dari 100 penumpang dari Bondowoso ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Belanda berusaha memperhalus kekejamannya dengan istilah 'aksi polisionil'.
"Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga gerbong kereta api,"
Tentara Belanda sangat serampangan. Siapa saja dirazia dan ditangkap, khususnya para pemuda yang punya potensi memberontak. Pak Soehadi, waktu itu berumur kurang lebih 20 tahun dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso, ikut ditangkap. Di tengah teror mental yang luar biasa, mereka dimasukkan ke dalam tiga gerbong kereta.
"Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada penerangan, pengap sekali. Anak-anak, kalian bisa bayangkan apa yang terjadi saat itu,"
Pak Soehadi menduga, kebijakan mengurung 100 tawanan itu dilakukan untuk menghindari intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel kereta api. Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir pasti gerilyawan tak akan tinggal diam.
"Gerbongnya hanya dibuka sebentar di stasiun, terus tutup lagi,"
Pengapnya udara, akumulasi gas karbondioksida, ditambah desak-desakan yang ekstrem, bahkan untuk menghilangkan rasa haus, para tawanan itu meminum air kencing mereka sendiri, ada satu lubang sebesar lubang jarum pada salah satu gerbong, akhirnya lubang itu dipake bergantian untuk menghirup udara segar dari luar, sungguh miris sekali.... Lalu satu persatu tawanan, kawan-kawan Eyang Soehadi, meninggal di dalam gerbong. Mati lemas! Sampai di Surabaya--mula-mula di Stasiun Wonokromo, Surabaya, baru diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, Eyang Soehadi termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.
"Saya sendiri heran, kok bisa selamat. Mungkin, takdir saya belum sampai,"
Pak Soehadi dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.) Dua tahun lamanya, Eyang Soehadi mendekam di dalam penjara tanpa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan sedikit pun. Ketahuan kalau 'Aksi Polisional' I itu hanya akal-akalan Belanda untuk merampok kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 November 1949, Eyang Soehadi dan kawan-kawan dibebaskan.
"Saya masih ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949,"
NYARIS MATI LEMAS DALAM KASUS 'GERBONG MAUT' PADA 28 DESEMBER 1947, MAS SOEHADI TAK MENDAPAT APA-APA. TANDA JASA NIHIL. PENGHARGAAN SEBAGAI VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN PUN TAK. TAPI, SOEHADI MERASA BANGGA KARENA DITAKDIRKAN TUHAN MENJADI SALAH SATU PELAKU SEJARAH DI REPUBLIK INI.
"NAK, umur kami-kami ini sudah sedikit. Sebentar lagi juga habis. Mau minta apa lagi?"